Jakarta - Persoalan-persoalan di bidang pendidikan saat ini sedang
dalam proses pentaaan di ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud).
Salah satu persoalan yang dianggap penting diselesaikan
adalah terkait guru.
“Sebenarnya kalau masalah guru ini tertangani dengan baik,
70 persen urusan pendidikan di Indonesia ini selesai," kata Mendikbud
Muhadjir Effendy dalam pembukaan Rakor Penataan Guru dan Tenaga Kependidikan di
Jakarta (15/11/2018).
Ia menambahkan, yang dibutuhkan saat ini adalah guru
kreatif, cerdas, inovatif, dan bekerja berdasarkan panggilan jiwa sehingga
pikiran dan hatinya akan tergerak.
Mendikbud menyampaikan, saat ini beban kerja guru bukan lagi
24 jam tatap muka, melainkan 8 jam selama 5 hari kerja seperti ASN pada
umumnya. Hal ini sudah diterapkan mulai tahun ini.
Secara bertahap sekolah menerapkan jam belajar mengajar
selama 8 jam selama 5 hari kerja.
Guru 8 jam bekerja
“Untuk siswa, sekolah bisa menerapkan program reguler
seperti pada umumnya atau boarding school. Untuk sekolah negeri tetap sekolah
reguler dan kalau memang ada kebijakan pelajaran tambahan, silakan melaksanakan
ekstrakurikuler yang dilakukan sekolah sendiri maupun bekerja sama penyelenggara
pendidikan di luar sekolah," ujar Muhadjir.
Namun, guru tetap masuk 8 jam dan tidak perlu menambah jam
mengajar.
"Dengan begitu, saya berharap agar tidak ada lagi guru
yang sudah mempunyai sertifikat, tetapi tidak bisa mendapatkan tunjangan
profesi karena tidak bisa memenuhi 24 jam tatap muka," ujarnya.
“Bapak dan Ibu jangan mengira bahwa Kemendikbud senang bila
guru tidak mendapatkan tunjangan profesi karena ini justru akan membuat masalah
yaitu menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Kalau banyak dana silpa,
daerah tersebut dianggap tidak berhasil menggunakan anggaran," kata
Muhadjir.
Tanggung jawab pemda
Dikutip dari laman resmi Kemendikbud, APBN tahun 2019
mencapai Rp 2.461,1 triliun. Sebanyak 20 persen dari anggaran tersebut atau
sebesar Rp 492,5 triliun diperuntukkan bagi sektor pendidikan.
Dari anggaran sektor pendidikan tersebut, sebesar Rp 308,38
triliun atau 62,62 persen ditransfer ke daerah. Sisanya, didistribusikan kepada
20 kementerian/lembaga yang melaksanakan fungsi pendidikan.
Anggaran pendidikan terbesar ada di Kementerian Agama
(Kemenag) yaitu sebesar Rp 51,9 triliun (10,53 persen). Di posisi kedua yaitu
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yaitu
sebesar Rp 40,2 triliun (8,14 persen). Sedangkan Kemendikbud menempati posisi
ketiga dengan jumlah anggaran Rp 35,99 triliun (7,31 persen).
“Ini artinya bahwa tanggung jawab pendidikan semakin
dilimpahkan ke daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Dengan anggaran
yang semakin besar dari waktu ke waktu dan kewenangan juga semakin
diperbesar," ujar Muhadjir.
Dana Alokasi Khusus Tahun 2019, Kemendikbud sudah tidak lagi
mengelola dana bantuan fisik karena langsung ditangani oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU PR) dan lebih fokus kepada
pembinaan mutu, pengawasan, regulasi, dan afirmasi.
"Maju atau tidaknya pendidikan ditentukan oleh kinerja
masing-masing kabupaten dan kota,” ujarnya.
Mendikbud menjelaskan, ada dua jenis dana pendidikan, yakni
dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), kecuali untuk Aceh,
Papua, dan Papua Barat yang mendapatkan dana tambahan karena merupakan daerah
otonomi khusus.
DAK terbagi menjadi dua, yakni DAK fisik dan DAK nonfisik.
“Dengan DAK fisik inilah, pemerintah daerah seharusnya juga
membangun sekolah baru, rehabilitasi, dan rekonstruksi sekolah. Sedangkan DAK
nonfisik terutama ditujukan untuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana
inilah yang harus dikelola dengan baik,” ujar Muhadjir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar